Love, Pride, and Scandal
Friday, February 11, 2011
Prequel pt.1
Thursday, September 16, 2010
Chapter 3
Loy Krathong, 16 November 19xx
Terlihat jelas dari balkon kamar sang raja, bulan purnama ke dua belas di tahun lunar bersinar di atas lampion yang mengapung di Sungai Chao Praya. Sinar-sinar kecil dari perayaan festival menambah indahnya pemandangan malam itu.
“Permaisuriku,” katanya sambil memegang tangan sang permaisuri. “Baru lewat satu minggu sejak hari ulang tahunmu. Aku ingin mempersembahkan pemandangan Thailand yang indah ini kepadamu.”
Sang permaisuri menengadahkan kepalanya untuk menatap wajah sang raja yang disinari cahaya bulan yang kebiruan. “Rajaku,” ia tersenyum kecil. “Pemandangan ini adalah hadiah yang indah. Tapi sesungguhnya hadiahku yang paling indah adalah kenyataan bahwa aku memiliki dirimu disampingku.”
Senyum sang raja merekah. Ia mengecup tangan permaisurinya lembut sampai ia melihat sebersit keraguan dalam mata sang permaisuri.
“Apa ada sesuatu yang kau pikirkan?” tanya sang raja khawatir.
Sang permaisuri hampir menggeleng, sampai akhirnya dia teringat akan sesuatu yang ingin ia tanyakan lagi pada suaminya. “Sesungguhnya saya sudah pernah menanyakan ini, Apakah saya boleh mengatakannya lagi, Yang Mulia?”
“Tentu, katakanlah.” jawab sang raja tidak sabar.
“Mengapa Yang Mulia memilih saya sebagai permaisuri? Bukankah banyak perempuan lain di luar sana yang lebih cantik, kaya, dan lebih pantas dari pada saya?”
Sang raja terdiam sebentar. Ia mencoba berpikir, sampai akhirnya ia kembali menatap sang permaisuri dan berkata.
“Bagiku kecantikan, kekayaan, apalagi kepantasan, itu sesuatu yang sangat subjektif, sayangku,” sang raja mengeluarkan senyumannya yang magis, yang dapat meluluhkan semua wanita dipangkuannya. “Bagiku tidak ada perempuan yang lebih cantik darimu, kekayaanmu dapat dilihat dari kepribadianmu yang menenangkan hati, dan tidak ada perempuan yang lebih pantas untuk menjadi permaisuriku selain dirimu.” jawabnya.
Sang permaisuri tersenyum, mungkin tak ada jawaban yang lebih memuaskan dari jawaban sang raja barusan. Ia memeluk tangan suaminya di bawah langit Thailand.
Lantern Festival, 15 Februari 19x(x+1)
Sang permaisuri mengedip-ngedipkan matanya di depan cermin sambil melihat lipatan matanya yang sedikit membengkak. Tanpa terasa wajahnya mulai memerah setelah mengingat-ingat penyebabnya.
Mengapa aku bisa menangis di depan panglima seperti itu? Bukankah seharusnya aku menunjukkan wibawaku padanya seperti kepada bawahanku yang lain? Ia memang menyenangkan sebagai teman bicara, tapi itu terlalu jauh… kenapa aku menjadi tidak berdaya di hadapannya?
Sudah beberapa menit ia berada di depan cermin saat tiba-tiba terdengar suara gemuruh di luar istana. Ia membuka pintu menuju balkon kamarnya dan mencoba melihat sumber suara itu. Ternyata suara itu berasal dari tempat yang tidak jauh dari tembok istana. Sekelompok orang sedang mempersiapkan berbagai stand makanan, hiburan, dan lampion dengan berbagai bentuk indah yang berwarna-warni.
Malam itu adalah malam pertama diadakannya festival lampion ke-3 sepanjang sejarah acara Thailand. Hanya melihat keramaiannya saja, sang permaisuri tersenyum lembut. Teringat lima tahun yang lalu ia harus meminta ayahnya untuk menggendongnya agar ia dapat melihat lampion-lampion itu diantara kerumunan orang.
Tok…Tok…
Ketukan pintu dan suara langkah kaki membuyarkan imajinasinya. Setelah mempersilakan si pengetuk pintu masuk, muncullah panglima di hadapannya sambil membungkuk. Sang Ratu yang masih belum menata hatinya kaget dan melangkah mundur tanpa sadar.
“A… Ada apa?” kata sang ratu mencoba mengembalikan wibawanya.
“Saya mendapatkan titipan surat dari Yang Mulia,” katanya sambil tersenyum.
Senyuman bahagia segera terpancar di wajah sang Ratu, ia segera berlari menuju panglima dan mengambil surat yang ia bawakan di atas sebuah nampan perak.
Permaisuriku,
Sang ratu mulai membaca kata demi kata yang telah ditunggunya dari sang raja.
Maafkan aku karena aku belum bisa pulang sampai hari kau membaca surat ini… aku tidak tahu kapan surat ini akan sampai di tanganmu, tapi apakah kau sudah melihat festival lampion dari balkon kamarmu? Aku sengaja merencanakan festival itu seminggu setelah hari ulang tahunku, agar aku bisa melihatnya denganmu seperti pada malam Loy Krathong. Sayangnya aku tidak bisa berdiri di sisimu malam itu. Bisakah kau melihatnya dan menceritakan kesanmu ketika aku pulang nanti? Agar kenanganmu bisa menjadi hadiah ulang tahunku yang terindah…
Hanya secarik kertas berisikan beberapa baris kata-kata dari sang raja telah membuat sang ratu bersemangat kembali.
Aku pasti akan melihatnya dari balkon kamarku malam ini dan menceritakan semuanya padamu, sayangku…
Panglima tersenyum melihat wajah sang ratu yang kembali segar, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin ia senang melihat wanita yang tadi malam menangis di depannya kini sudah kembali ceria… Apakah itu hanya rasa khawatir, ataukah rasa hormat pada si ratu… atau mungkin sesuatu yang lebih dari itu?
Sementara melipat kembali surat itu, sang ratu tersenyum sambil berkata, “Panglimaku yang setia, maukah kau menemaniku melihat festival lampion malam ini?”. Sang panglima terkesiap dan segera berusaha menjawab, tapi tak satu pun hal yang ingin dikatakannya keluar dari bibirnya.
“Biar kuanggap itu sebagai jawaban ’Ya’” kata ratu sambil mendekati panglima. “Menyedihkan bukan kalau hanya berdiri sendiri di balkon yang besar itu..?” ujarnya.
“Ta… Tapi saya tidak pantas, Yang Mulia…” jawabnya terbata-bata.
Sang ratu menatap panglima dengan pandangan tidak puas. “Bagiku, kepantasan itu sesuatu yang sangat subjektif”. Ia baru saja akan melanjutkannya dengan perkataan raja, bagiku tidak ada orang yang lebih pantas untuk mendampingiku selain dirimu. Tapi dirinya dipaksa ingat, bahwa baginya memang ada yang lebih pantas daripada panglima, yaitu Sang Raja sendiri.
“Maaf, aku ingin sendiri sekarang, jangan lupa janjimu,” kata sang ratu. Panglima pun berlalu dalam kebingungan akan dirinya sendiri. Sedangkan sang ratu memegang pipinya yang mulai memanas karena malu. Ia mulai membuka kembali surat dari belahan hatinya yang berada di negara sebelah dan mencoba mengembalikan pikirannya yang kacau.
Matahari berlalu begitu saja digantikan sinar bulan yang menyapa bintang. Pukul delapan tepat festival di mulai. Sang Ratu segera berjalan menuju balkon, menumpangi tangannya di atas susuran pagar balkon dan menikmati indahnya cahaya lampion berwarna-warni dengan berbagai bentuk.
Hari itu tepat satu minggu setelah ulang tahun sang raja. Melihat pemandangan Thailand yang begitu indahnya, sang permaisuri teringat akan pemandangan Loy Krathong yang di hadiahkan oleh sang raja. Saat itu juga tepat satu minggu setelah ulang tahunnya, juga 2 minggu setelah pernikahannya.
Ia merenung untuk beberapa saat. Mengapa hanya dalam waktu satu bulan pernikahan, kau harus meninggalkanku sendirian? Bahkan ini sudah dua bulan sejak kepergianmu..
Tiba-tiba sang panglima datang untuk memenuhi janjinya dengan sang ratu. Ratu segera menghilangkan lamunannya dan menyambut panglima dengan senang.
“Terima kasih kau telah memenuhi janjimu, panglima…”
“Apapun yang anda inginkan, Yang Mulia.”
Ratu tersenyum. Ia kembali memandangi keramaian Thailand dari atas balkonnya bersama panglima di belakangnya.
Siang itu ia sedang makan dibangkunya. Ia hanyalah seorang gadis biasa, tidak istimewa, bangsawan pun tidak. Tapi bel di siang hari itu mengubah segala tentang dirinya. Saat sang raja datang berkunjung dan meminangnya dengan cincin kuning kemilau dan gading gajah sebagai mas kawinnya, ia pun berubah menjadi seorang ratu.
Tidak ada orang yang lebih kaget dari dirinya sendiri, ia hanya dapat bertanya pada sang raja untuk pertama kalinya.
“Rajaku, kenapa engkau meminangku? Banyak gadis lain di seluruh penjuru negara seribu pagoda ini, kenapa harus saya?” pertanyaannya bukan disebabkan karena ia merasa tidak suka, hanya perasaan bingung yang ada dalam hatinya. Hanya sekali ia bertemu dengan sang raja sebelum ia meminangnya.
“Tentu aku memilih kau... Karena kau adalah wanita yang sangat menarik…” jawab sang raja yakin.
Jawaban itu cukup memuaskan bagi orang tua perempuan itu, namun tidak baginya.
“Panglimaku,” sang ratu mulai berkata sambil tetap menatap pemandangan eksotis dari balkon tempatnya berdiri. “Jika saja kau adalah sang raja…” Belum selesai perkataan sang ratu, panglima sudah terlihat kaget.
Melihat reaksi panglima, ratu berhenti sejenak, lalu mulai melanjutkan lagi, “Ini hanya jika… Jika kau adalah sang raja dan aku adalah ratumu, apa jawaban yang akan kau berikan padaku jika aku bertanya ‘Mengapa kau memilihku sebagai permaisurimu?’.. Jawablah, aku tidak akan mempermasalahkan jawaban apapun yang kau berikan padaku.”
Sang panglima melangkah maju.
“Apakah Yang Mulia sungguh ingin mendengar jawaban saya?” katanya. “Mungkin jawaban saya tidak akan sama dengan opini dari sang raja sendiri.”
“Ya, saya ingin mendengar jawabanmu. Mengapa kau memilihku sebagai permaisurimu?”
Tidak sampai dua detik, sang ratu mendapatkan jawabannya dari panglima. “Karena saya mencintai anda…”
Sang ratu terkesiap. Mungkin jawaban itulah yang sejak lama ia tunggu dari sang raja. Bukannya ia meragukan cinta sang raja kepadanya. Ia tahu dan yakin bahwa sang raja mencintainya dengan setulus hatinya. Namun ada perasaan mengganjal yang selama ini terus menjadi pertanyaan dalam hatinya. Mengapa engkau memilihku menjadi permaisuriku? Karena aku mencintaimu…
“Maaf,” kata panglima memecah keheningan yang terjadi di antara keduanya. “Saya hanya menjawab pertanyaan Yang Mulia berdasarkan opini saya.”
“Tidak, memang saya yang menghendaki demikian.” jawab sang ratu berwibawa. “Majulah beberapa langkah lagi dan lihat pemandangan indah itu dari sini.. Sungguh sayang jika kau hanya melihat ujung lampionnya saja, bukan?” ia tersenyum.
Panglima maju sekitar dua meter dan menemani sang ratu melihat pemandangan itu disampingnya, di bawah langit yang sama, di tempat yang sama, dengan pemandangan yang ia lihat bersama kekasihnya.
Catatan Pengarang : Hyahyahyahyahya…. (?) maaf akan kekonyolan yang terjadi antara si ratu dan si panglima.. sbenernya ini harusnya scene romantis tp entah kenapa gw tdk bisa menggambarkannya dgn baik.. LOL…Maaf klo masalah tempatnya agak tidak benar, gw juga ga tau ya Sungai Chao Praya itu di bagian mananya Thailand… xDDDD Untuk mengetahui lebih dalam mengenai festival Loy Krathong dan Lantern Festival, silahkan lihat INI dan INI..
Chapter 4 akan dilanjutkan oleh vale.. xDD Terima kasih sdh membaca~
Love, Pride, and Scandal by vavachala
--To be continued--
Sunday, September 12, 2010
[short AU one-shot] When Our Time Ends
The night was so quiet. Too quiet that she could hear the clock ticking. The sound she unfortunately dislike, just like everything else right now.
She tried to ignore it, along with those agitated feelings. As she sat in front of the mirror, she tried to distract her thoughts by checking on her look again. But her trembling hands significantly showed how terrified she was.
Afraid…
Stressed…
Lonely…
Oh, how she pitied herself at the time like this, sitting alone, waiting for her time to come.
She wanted to run. Run, Devil, run. But she could never gather enough courage to do so.
Suddenly, she heard some noises, coming from the balcony of her room. She didn’t need to look for she knew what the cause of the noise was. Or rather who… Only one person dared to rudely enter her room like that.
And if that wasn’t convincing enough, the spoken voice was.
“Miss…”
Oh, how she longed to hear that soothing voice and the way he called her. She would always remember how he bargained her request to call her by her name instead of “Princess” with the title “Miss”.
The person spoke again after awhile, “Is something bothering you?”
She smiled in irony, “I wonder if it’s a question or a statement, coming from a person like you.”
When he didn’t speak to answer, she spoke again.
“Tell me, why should I be bothered?”
He thought for a moment before answering, “I don’t know. That’s why I’m asking you.”
His answer angered her. She slapped the dressing table hard.
“How could you! How could you say that when you know exactly what made me in a state like this!”
All her fear, anger and sadness that she managed to overcome all this time suddenly exploded. She knew he wasn’t at fault, yet she couldn’t control her emotion anymore. And just like always, he was the one who she ran into when she couldn’t take it anymore. He was a commander, a loyal friend.
And her secret lover…
“Why bother coming if you pretended like a complete stranger…” She said in a wary tone.
He sighed. He too was in pain, to see the woman he loved in such misery. Oh, how he wanted to embrace her and give her calming words like he usually do. But he couldn’t, because he knew, she wasn’t his anymore. Well, she was never his to begin with, as tonight would mark the end of everything that ever happened between them. When he couldn’t stop himself from coming to her room to just see her, for God knows that it could be the last time to do so, he wished that he could just pretend like everything is alright. That it would be a good, short meeting. But he simply failed.
He should have known better that nothing would be alright with her now.
“I wanted to see you. And perhaps when all masked have already shattered like this, I want to be your strength.”
That simple statement made her want to cry. But she couldn’t, could she? It would damage the beautifully applied make-up on her face. She stood up and ran to hug him. She didn’t care anymore if her dress would be in a mess.
“I’m scared. I’m so damn scared that my hands were trembling! I’m afraid to face the uncertain future. What is the prince like? Will I be able to maintain a good relation with him? Will I be happy or miserable for the rest of my life? Really, I don’t want the time to come. I don’t want to turn eighteen. I don’t want to marry a stranger whom I don’t know at all! I… don’t want to be separated from you…” She didn't hesitate to pour all her feelings and matters to him, just like the usual.
They always knew today will come, the day when she finally turned eighteen and officially engaged to the prince of Thailand. Day after day, they counted them. They were scared, yes, but they never knew that parting would be this hard. They already fell too deep in love. No matter how many times she tried to convince herself that it was for the best of both kingdoms, she couldn’t deny that her heart was screaming for freedom.
Any minutes now, the maid would knock on her door telling her that it’s time for her to go out and come to the ballroom where her birthday and engagement party was held.
“Everything will be alright, Miss. Your fiancé is a handsome wise young man. It will be soon before you both can establish a great relationship. You should stay strong and hold your head high for a beautiful woman like you didn’t suit to be in such miserable state.”
“It’s useless to say something like that. No matter how good he is, he can never replace you in my heart. You’re the only one who can make me feel content. And to let go of you, I can’t, I really can’t. No matter how many times I tried to convince myself. I lov-”
He put a finger on my lips.
“Shh… Don’t say it for it will only hurt the both of us. Let’s just cherish the remaining time we have.”
They embraced each other so tightly for some times before he finally found the courage to speak his vow to her.
“I promised I will always be there beside you.”
She broke the hug and stared at him with slight evidence of shock and confusion.
“How? Tomorrow, I will move to his palace.”
He smiled convincingly, “I’ll find a way, trust me.”
She stared at him for a while before she finally answer, “I trust you, and don’t let me down, okay?”
She smiled warmly. She lied if she said that simple promise washed away all her fear and confusion, but at least she now had something to look forward, something to keep her sane.
Just like she used to when she was with him, never wanted to end their relationship even though she knew it would hurt them in the end.
For she always believed in those happy endings, that somehow she could escape her faith and be together with her loyal commander. Like those fairytale where the princess magically succeeded in escaping a marriage with a royal prince and instead marry a commoner she loved.
But then hers was no fairytale, she realized. She could only be satisfied with a single promise for now.
Tik… tok… tik… tok… tik… tok…
And the clock kept on ticking.
Author’s note:
Short one-shot! Tiba2 terinspirasi saja, dan karena kebetulan saya sudah lama tidak menulis, jadinya saya langsung tulis saja. Ide dasarnya sih, tentang seorang PUTRI yg punya hubungan rahasia dengan PANGLIMAnya, dan bagaimana perasaan di detik2 terakhir mereka bersama karena setelahnya PUTRI itu akan resmi bertunangan dengan seorang PANGERAN THAILAND demi hubungan diplomatik yang baik antara dua kerajaan dan keesokannya pergi untuk tinggal di kerajaan tunangannya. Mungkin di akhir2 agak bingung, tapi maksudnya saya adalah selama ini putri itu tetap berhubungan dengan panglimanya meski dia tau akan jadi bgini karena dia percaya bahwa akhir yang bahagia itu ada. Dan di saat ternyata akhir yang bahagia itu sudah tidak mungkin, dengan janji dari panglimanya dia jadi ada sesuatu yang membuat dia bisa tetap bertahan untuk menyongsong masa depan dan menghadapi takdir yang kejam. Kurang lebih begitu. Hahaha.. Apakah terlalu membingungkan bagi kalian? Semoga perasaan keduanya tersampaikan dengan baik yah.. XDD *Cuma bisa berharap OTL*
Ya sepertinya demikian. Mungkin saya akan membuat sekuel tentang kehidupan PUTRI itu setelah menikah dengan si PANGERAN. XD Dan tentunya cerita ini Alternate Universe dari cerita originalnya Love, Pride, and Scandal. Terima kasih sudah membaca.. ^_^
Friday, September 10, 2010
selingan
Ketika wanita menangis,
itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terampuhnya,
melainkan justru berarti dia sedang mengeluarkan senjata terakhirnya
Ketika wanita menangis,
itu bukan berarti dia tidak berusaha menahannya
melainkan karena pertahanannya sudah tak mampu membendung air matanya
Ketika wanita menangis,
itu bukan karena dia ingin terlihat lemah
melainkan karena dia sudah tidak sanggup berpura-pura kuat
Tadinya mau dipost di Author's Note chapter 2...tapi..ya..sudahlah haha
Chapter 2
Hey, ngomong-ngomong soal gajah dan teman bicara aku jadi ingat kejadian ketika aku turun ke kota belum lama ini. Tiba-tiba aku jadi malu. Aku tak bisa berhenti tersenyum dan kurasakan wajahku memanas. Sudahlah, sebelum aku semakin dimabukkan oleh pikiranku sendiri, lebih baik aku bergegas mandi dan sarapan. Pelayan istana pasti sudah menyiapkannya untukku.
Siang hari, hujan turun dengan lebatnya. "Aku tak bisa menikmati keindahan taman kerajaan." gumamku. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengelilingi istana. Aku menyusuri lorong demi lorong, ruang demi ruang, melihat kegiatan yang dilakukan orang-orang dalam istana. Beberapa kali aku bertemu dengan pelayan yang langsung memberi hormat padaku. Aku masih merasakan sensasi aneh tiap kali diberi hormat seperti itu. Aku bahkan bingung bagaimana aku harus membalas mereka. Dulu, Raja mengatakan bahwa aku tak perlu terlalu memikirkan hal semacam itu karena itu sudah sewajarnya. Ah, bahkan dalam kesendirianku pun, aku masih memikirkan Raja. Wahai Sang Buddha, aku sungguh merindukannya. Tak bisakah ia ada di sisiku sekarang?
Tanpa sadar, air mataku mengalir....
"Yang Mulia Ratu, apa yang terjadi? Mengapa Yang Mulia menangis?"
Tiba-tiba terdengar suara Panglima. Aku pun terkesiap. Aku menoleh ke belakang dan kulihat panglima berdiri di belakangku, dengan wajah yang penuh perhatian. Segera aku memalingkan wajahku dan menyeka air mataku. Memalukan, sungguh bodoh, ratu macam apa yang menangis dan terlihat oleh bawahannya? Aku ini seorang ratu. Ya, aku harus kuat, biarpun tanpa raja di sisiku. Walau jauh di relung hatiku, sebagai seorang wanita, jiwaku menjerit kesepian.
"Aku tidak apa-apa." jawabku, sambil memfokuskan tenaga dan pikiran, berusaha mengatur nada bicaraku agar terkesan berwibawa. Meski aku telah berkata akan membicarakan dengan dirinya ketika ada masalah, bukan berarti aku dapat menceritakan masalahku begitu saja bukan? Seorang ratu bercerita kepada panglima kerajaannya bahwa ia kesepian karena tidak ada raja? Terdengar sangat konyol.
"Benarkah? Maaf, tapi saya merasa, seorang ratu yang biasanya kuat dan tegar, kini menangis, bukanlah sesuatu yang baik-baik saja." jawabnya. Lancang..tapi...memang itulah kenyataannya. Aku terdiam, terpaku, termangu, atau apapun. Kemudian, tangisku memecah. Aku sungguh tak tahan lagi. Bunyi hujan yang turun, seakan menemaniku, menyadarkanku bahwa aku tidak menangis sendirian. Ada Panglima yang menemaniku dan mau mendengarkan segala isi hatiku.
Senja tiba menjemput malam, aku duduk di ruang bacaku bersama Panglima. Di sana, aku menceritakan segala kerisauan hatiku. Kerinduanku pada Raja, kesepianku di istana, serta kesulitanku sebagai seorang ratu. Ada saat di mana aku tenang, ada juga saat di mana tangisku memecah lagi. Dan Panglima mendengarkan segalanya dengan sabar. Aku sungguh merasa nyaman berada di dekatnya. Di istana ini, aku merasa benar-benar menemukan seorang teman bicara.
Malam semakin larut, aku pun memutuskan untuk beristirahat. Aku hendak pamit dan berterima kasih. Tiba-tiba, dengan senyumnya yang begitu menenangkan, Panglima berkata, "Ketika seorang wanita menangis, itu bukanlah karena wanita itu ingin terlihat lemah, melainkan karena ia tidak sanggup lagi untuk berpura-pura kuat. Semoga Yang Mulia dapat kembali ceria, karena kebahagiaan Yang Mulia jugalah kebahagiaan bagi rakyat, termasuk saya." Aku pun tersenyum mendengarnya. Sepertinya, malam ini, aku akan kembali bermimpi indah.
Thursday, September 9, 2010
Chapter 1
*Prolog*
Negeri Gajah Putih adalah sebuah kerajaan yang makmur, kaya, dan permai. Rakyat hidup dalam kesejahteraan di bawah pimpinan rajanya yang adil dan bijaksana. Sang Raja memerintah ditemani permaisuri yang amat dicintainya. Semuanya berlangsung dengan baik sampai suatu kerajaan dari seberang lautan hendak menyerang Negeri Gajah Putih. Sang Raja yang mengetahui hal itu pun segera mengambil tindakan. Ia akan pergi ke kerajaan itu untuk menjalin hubungan diplomasi sehingga perang pun dapat dihindari. Sebelum berangkat, Sang Raja tak lupa menitipkan Ratu dan rakyatnya kepada panglima kepercayaannya sementara itu sang perdana menteri ikut pergi bersama raja.
"Panglimaku, aku pergi dulu. Selama aku pergi, tolong jaga ratuku dan rakyat negeri ini baik-baik. Bantulah sang ratu dalam memerintah. Kau telah lama mengabdi untuk kerajaan ini jadi kau pasti lebih bijak dan ahli dalam mengambil keputusan. Sampai aku kembali, segala tanggung jawab kupercayakan kepadamu dan laksanakanlah tugasmu dengan baik, " perintah Sang Raja kepada sang panglima.
"Baik, Yang Mulia. Akan saya laksanakan dengan baik," jawabnya.
Setelah berkata demikian Sang Raja pun berbalik kepadaku. Ia pun berkata, "Ratuku, aku akan pergi untuk sementara waktu tapi aku pasti akan kembali. Sungguh berat bagiku meninggalkanmu tapi inilah yang terbaik untuk kerajaan ini. Cintaku menyertaimu selalu sampai kapanpun.. Aku mencintaimu.” Setelah berkata demikian ia pun mengecup keningku dan menatapku dalam. Tatapan penuh cinta dan kesedihan akan perpisahan ini.
“Aku mencintaimu juga. Akan kutunggu kau sampai kapanpun..,” jawabku. Kutatap matanya juga dan kuulurkan lenganku, memeluknya dengan erat sebelum perpisahan panjang yang menyedihkan ini.
-;-
Sudah 2 bulan sejak Sang Raja meninggalkan kerajaan ini. Aku merasa kesepian, bahkan sejak hari pertama ia pergi. Bisa dibilang sejak raja meminangku untuk menjadi permaisurinya, aku tak pernah lagi bertemu teman-temanku. Singkat kata, di dalam istana ini aku tak punya seorang pun yang bisa kupanggil teman. Semua orang di sini begitu menghormatiku karena akulah sang ratu negeri ini. Tapi keramahan itu tak lebih dari sebuah keharusan dan formalitas belaka. Yah, aku memang bukan berasal dari keluarga bangsawan dan kenyataan bahwa raja memilihku menjadi permaisurinya adalah suatu hal yang cukup mengejutkan. Meskipun awalnya aku merasa canggung berada di sini, akhirnya aku mulai terbiasa dengan keadaan ini. Aku senang bila Raja berada di dekatku. Aku tahu dia sungguh mencintaiku dan berada di dekatnya aku merasa aman dan terlindungi. Tapi kini ia tak ada di sini. Aku bosan..dan kesepian…
Siang ini kuhabiskan dengan berjalan-jalan di taman kerajaan. Aku memang bukanlah seorang penggemar tanaman, tapi aku adalah seorang pengagum keindahan. Bunga-bunga di sini tumbuh dan terawat dengan indahnya. Melihat pemandangan ini ternyata dapat memperbaiki perasaanku. Lelah berjalan-jalan, aku pun kembali ke kamarku dan aku pun tertidur.
Ketika malam tiba, seorang pelayan membangunkanku untuk makan malam. Aku pun bergegas ke ruang makan. Di sana telah dihidangkan berbagai macam masakan yang kelihatan enak dan menggiurkan. Ah telah 3 bulan sejak aku tinggal di istana ini, tetapi bagiku yang biasa hidup sederhana makanan yang berlimpah ini masih menjadi hal yang terasa sangat mewah bagiku. Aku pun makan sampai perutku kenyang.
Setelah makan malam, sang panglima datang menghadapku.
“Yang Mulia Ratu, kami baru saja menerima kabar dari Baginda Raja. Kabarnya ia telah tiba dengan selamat di negeri seberang.”
“Baiklah kalau begitu. Sekarang kau boleh pergi..” perintahku. Namun ia tak beranjak dari tempatnya.
“Yang Mulia.. Ada yang ingin saya sampaikan..” katanya lagi.
“Apa? Katakanlah..” kataku.
“Akhir-akhir ini saya melihat Yang Mulia kurang bersemangat. Apa ada hal yang kurang berkenan di hati Yang Mulia? Saya dan para pelayan mengkhawatirkan kondisi Yang Mulia..”
Mendengar perkataan sang panglima itu aku pun tertegun. Tak kusadari pipiku merona. Ternyata ada juga yang memperhatikan kondisiku.
“Tidak ada apa-apa..” jawabku. “Semuanya baik.”
“Benarkah?” ia balik bertanya. Belum sempat aku menjawab, ia berkata lagi, “Jika ada masalah bicarakan saja dengan saya. Mungkin saya bisa membantu… Maafkan atas kelancangan hamba, Yang Mulia..”
Lancang, katanya? Sungguh tidak.. Aku senang ternyata ada yang mau jadi teman bicaraku di istana ini. Mendengar perkataannya aku pun tersenyum.
“Baiklah. Jika ada masalah akan kubicarakan denganmu..” kataku, “sekarang kau boleh pergi. Pergilah!...”
“Baik, Yang Mulia.”
Ia pun memberi hormat dan berlalu.
Malam itu aku pun tidur dengan nyenyak dan bermimpi indah. Mimpi yang sebenarnya tak dapat kuingat isinya tapi aku hanya tahu saja bahwa mimpi itu indah.
-;-
Keesokan harinya aku bangun dengan suasana hati yang baik. Aku memutuskan bahwa hari ini aku akan berjalan-jalan di kota untuk mengamati keadaan rakyatku. Aku sudah menjadi ratu negeri ini jadi sebaiknya kulakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang ratu.
Seusai makan pagi, aku memanggil panglimaku. Ia pun segera datang menghadapku.
“Yang Mulia, ada apa memanggil hamba kemari?”
“Apakah kau sedang ada pekerjaan?” tanyaku.
“Tidak..” jawabnya singkat.
“Baiklah. Kalau begitu temani aku berjalan-jalan di kota. Aku ingin melihat keadaan penduduk.”
Mendengar perkataanku ia nampak agak terkejut. Ia terdiam sesaat namun akhirnya mengabulkan permintaanku.
“Baik, Yang Mulia. Akan saya siapkan gajah Yang Mulia,” katanya. “Hamba mohon diri dari hadapan Yang Mulia..”
“Baiklah. Sekarang pergilah!” kataku lagi.
Gajah telah siap dan aku pun berangkat. Sesampainya di kota semua orang memberi hormat kepadaku. Aku merasakan sensasi aneh atas penghormatan ini. Entah rasa malu, canggung, atau terkejut. Ah, mungkin inilah rasanya menjadi seorang ratu, pikirku.
Aku pun terus berjalan, mengelilingi seluruh kota sambil menyapa setiap penduduk yang kulewati. Mereka berada di pinggir jalan, menundukkan kepala dan memberi hormat. Melihat orang-orang itu aku teringat saat aku masih menjadi salah satu di antara mereka. Memberi hormat pada Sang Raja yang lewat sambil sesekali berusaha melihat wajah Sang Raja yang terhalang silaunya mentari.
Sementara aku duduk di atas gajah dan memandang sekeliling dari atas, sang panglima berjalan di sebelahku sambil mengendalikan jalannya gajah. Aku menatapnya dari atas lalu tersenyum. Ah, di dekatnya ternyata aku juga merasa aman…
-;-
Author’s note:
Ah akhirnya gw update juga chapter pertama ini. Paragraf pertama ini maksa banget.. Semoga kalian senang dan menikmatinya. Ini baru permulaannya dan kelanjutannya akan dibuat oleh vavachala yang lain. Maaf kalo bahasanya agak aneh dan progress ceritanya lambat. Nantikan terus kelanjutannya ya~:D
Wednesday, September 8, 2010
สวัสดี
selamat pagi :)
apa kabar kalian semua? hahaha
ayo semangat karena ini hari pertama liburan kita yang singkat ini!
kami vavalacha mempersembahkan blog ini bagi seluruh manusia yg ingin baca, hanya ada beberapa peringatan di bawah ini yg perlu kami ingatkan =
- blog ini hanyalah hasil keisengan kami terhadap teman kami..
- isi cerita dalam blog ini hanya cerita fiksi cerita ini bukan untuk menghasut pihak manapun
- kesamaan nama tokoh memang disengaja
- blog ini bukan hanya diperuntukan org thailand, dan tentunya bukan untuk kepentingan politik, ekonomi, maupun iklan
- kesamaan akan segala hal yang dalam blog ini bukan untuk propaganda atau menguntungkan pihak tertentu
- yang terpenting, blog ini terbentuk berlatar belakang atas eksistensi blog ini http://couleurbox.blogspot.com/
selamat membaca dan menikmati :)