Friday, September 10, 2010

Chapter 2

     Pagi kembali menyapaku. Mataku masih terpejam, tapi aku bisa merasakan hangatnya sinar mentari, suara kicauan burung yang bersahutan dengan suara gajah-gajah istana, dan betapa empuk serta lembut ranjangku ini. Aku menyukai pagi, aku memang menyuruh para pelayan untuk tidak membangunkanku, karena aku ingin menikmati pagiku tanpa perlu merasa segan dan risih karena keberadaan para pelayan. Dan aku semakin tidak menyukai malam, terutama sejak Raja pergi meninggalkanku. Malam tanpa dirinya terasa sangat panjang, sepi, dan mencekam. Tak ada yang bisa kuajak bicara.

     Hey, ngomong-ngomong soal gajah dan teman bicara aku jadi ingat kejadian ketika aku turun ke kota belum lama ini. Tiba-tiba aku jadi malu. Aku tak bisa berhenti tersenyum dan kurasakan wajahku memanas. Sudahlah, sebelum aku semakin dimabukkan oleh pikiranku sendiri, lebih baik aku bergegas mandi dan sarapan. Pelayan istana pasti sudah menyiapkannya untukku.

     Siang hari, hujan turun dengan lebatnya. "Aku tak bisa menikmati keindahan taman kerajaan." gumamku. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengelilingi istana. Aku menyusuri lorong demi lorong, ruang demi ruang, melihat kegiatan yang dilakukan orang-orang dalam istana. Beberapa kali aku bertemu dengan pelayan yang langsung memberi hormat padaku. Aku masih merasakan sensasi aneh tiap kali diberi hormat seperti itu. Aku bahkan bingung bagaimana aku harus membalas mereka. Dulu, Raja mengatakan bahwa aku tak perlu terlalu memikirkan hal semacam itu karena itu sudah sewajarnya. Ah, bahkan dalam kesendirianku pun, aku masih memikirkan Raja. Wahai Sang Buddha, aku sungguh merindukannya. Tak bisakah ia ada di sisiku sekarang?

Tanpa sadar, air mataku mengalir....

     "Yang Mulia Ratu, apa yang terjadi? Mengapa Yang Mulia menangis?"

     Tiba-tiba terdengar suara Panglima. Aku pun terkesiap. Aku menoleh ke belakang dan kulihat panglima berdiri di belakangku, dengan wajah yang penuh perhatian. Segera aku memalingkan wajahku dan menyeka air mataku. Memalukan, sungguh bodoh, ratu macam apa yang menangis dan terlihat oleh bawahannya? Aku ini seorang ratu. Ya, aku harus kuat, biarpun tanpa raja di sisiku. Walau jauh di relung hatiku, sebagai seorang wanita, jiwaku menjerit kesepian.

     "Aku tidak apa-apa." jawabku, sambil memfokuskan tenaga dan pikiran, berusaha mengatur nada bicaraku agar terkesan berwibawa. Meski aku telah berkata akan membicarakan dengan dirinya ketika ada masalah, bukan berarti aku dapat menceritakan masalahku begitu saja bukan? Seorang ratu bercerita kepada panglima kerajaannya bahwa ia kesepian karena tidak ada raja? Terdengar sangat konyol.

     "Benarkah? Maaf, tapi saya merasa, seorang ratu yang biasanya kuat dan tegar, kini menangis, bukanlah sesuatu yang baik-baik saja." jawabnya. Lancang..tapi...memang itulah kenyataannya. Aku terdiam, terpaku, termangu, atau apapun. Kemudian, tangisku memecah. Aku sungguh tak tahan lagi. Bunyi hujan yang turun, seakan menemaniku, menyadarkanku bahwa aku tidak menangis sendirian. Ada Panglima yang menemaniku dan mau mendengarkan segala isi hatiku.

     Senja tiba menjemput malam, aku duduk di ruang bacaku bersama Panglima. Di sana, aku menceritakan segala kerisauan hatiku. Kerinduanku pada Raja, kesepianku di istana, serta kesulitanku sebagai seorang ratu. Ada saat di mana aku tenang, ada juga saat di mana tangisku memecah lagi. Dan Panglima mendengarkan segalanya dengan sabar. Aku sungguh merasa nyaman berada di dekatnya. Di istana ini, aku merasa benar-benar menemukan seorang teman bicara.

     Malam semakin larut, aku pun memutuskan untuk beristirahat. Aku hendak pamit dan berterima kasih. Tiba-tiba, dengan senyumnya yang begitu menenangkan, Panglima berkata, "Ketika seorang wanita menangis, itu bukanlah karena wanita itu ingin terlihat lemah, melainkan karena ia tidak sanggup lagi untuk berpura-pura kuat. Semoga Yang Mulia dapat kembali ceria, karena kebahagiaan Yang Mulia jugalah kebahagiaan bagi rakyat, termasuk saya." Aku pun tersenyum mendengarnya. Sepertinya, malam ini, aku akan kembali bermimpi indah.
    
 ---to be continued---

     Author's note :
HAI SEMUA...hahaha.. Maaf sekali kalau cerita chapter 2 ini kebanyakan kata-kata gak penting XDDD Ini disebabkan oleh kebanyakbacotan penulis. Saya suka sekali kata-kata "gajah istana" dan "wahai sang buddha".. terasa thailandnya bukan? (y) Semoga para pembaca juga bisa menikmati dan merasakan THAILANDnya. Ngomong-ngomong, dari kemaren, saya pasti melihat minimal 1 orang pakai kaos Thailand di mall. Apakah ini artinya Thailand semakin mendunia? *gak penting*

3 comments:

  1. hahahaha. perselingkuhan terselubung atau terbuka nih?
    saya tetap menanti kelanjutan cerita ini ya ♥

    ReplyDelete
  2. Ntah knp chapter 2 malah membuat saya ngakak..
    Wahai sang Buddha, aku sungguh merindukannya.. -> AHAHAHAHA!!!!
    Sama yg Aku terpaku, termangu dan apapun lah -> LOLOLOOL!!!

    ReplyDelete
  3. Itu tdinya mau gw tulis "Wahai Siddharta Gautama" -> lebih ajaib lagi XDDDD
    Kalau yang itu sih ceritanya mengekspresikan kestressan ratu yg membuatnya jadi "ya udalah terserah" (penjelasan gak jelas)

    ReplyDelete