Thursday, September 16, 2010

Chapter 3

Loy Krathong, 16 November 19xx

Terlihat jelas dari balkon kamar sang raja, bulan purnama ke dua belas di tahun lunar bersinar di atas lampion yang mengapung di Sungai Chao Praya. Sinar-sinar kecil dari perayaan festival menambah indahnya pemandangan malam itu.

“Permaisuriku,” katanya sambil memegang tangan sang permaisuri. “Baru lewat satu minggu sejak hari ulang tahunmu. Aku ingin mempersembahkan pemandangan Thailand yang indah ini kepadamu.”

Sang permaisuri menengadahkan kepalanya untuk menatap wajah sang raja yang disinari cahaya bulan yang kebiruan. “Rajaku,” ia tersenyum kecil. “Pemandangan ini adalah hadiah yang indah. Tapi sesungguhnya hadiahku yang paling indah adalah kenyataan bahwa aku memiliki dirimu disampingku.”

Senyum sang raja merekah. Ia mengecup tangan permaisurinya lembut sampai ia melihat sebersit keraguan dalam mata sang permaisuri.

“Apa ada sesuatu yang kau pikirkan?” tanya sang raja khawatir.

Sang permaisuri hampir menggeleng, sampai akhirnya dia teringat akan sesuatu yang ingin ia tanyakan lagi pada suaminya. “Sesungguhnya saya sudah pernah menanyakan ini, Apakah saya boleh mengatakannya lagi, Yang Mulia?”

“Tentu, katakanlah.” jawab sang raja tidak sabar.

“Mengapa Yang Mulia memilih saya sebagai permaisuri? Bukankah banyak perempuan lain di luar sana yang lebih cantik, kaya, dan lebih pantas dari pada saya?”

Sang raja terdiam sebentar. Ia mencoba berpikir, sampai akhirnya ia kembali menatap sang permaisuri dan berkata.

“Bagiku kecantikan, kekayaan, apalagi kepantasan, itu sesuatu yang sangat subjektif, sayangku,” sang raja mengeluarkan senyumannya yang magis, yang dapat meluluhkan semua wanita dipangkuannya. “Bagiku tidak ada perempuan yang lebih cantik darimu, kekayaanmu dapat dilihat dari kepribadianmu yang menenangkan hati, dan tidak ada perempuan yang lebih pantas untuk menjadi permaisuriku selain dirimu.” jawabnya.

Sang permaisuri tersenyum, mungkin tak ada jawaban yang lebih memuaskan dari jawaban sang raja barusan. Ia memeluk tangan suaminya di bawah langit Thailand.

Lantern Festival, 15 Februari 19x(x+1)

Sang permaisuri mengedip-ngedipkan matanya di depan cermin sambil melihat lipatan matanya yang sedikit membengkak. Tanpa terasa wajahnya mulai memerah setelah mengingat-ingat penyebabnya.

Mengapa aku bisa menangis di depan panglima seperti itu? Bukankah seharusnya aku menunjukkan wibawaku padanya seperti kepada bawahanku yang lain? Ia memang menyenangkan sebagai teman bicara, tapi itu terlalu jauh… kenapa aku menjadi tidak berdaya di hadapannya?

Sudah beberapa menit ia berada di depan cermin saat tiba-tiba terdengar suara gemuruh di luar istana. Ia membuka pintu menuju balkon kamarnya dan mencoba melihat sumber suara itu. Ternyata suara itu berasal dari tempat yang tidak jauh dari tembok istana. Sekelompok orang sedang mempersiapkan berbagai stand makanan, hiburan, dan lampion dengan berbagai bentuk indah yang berwarna-warni.

Malam itu adalah malam pertama diadakannya festival lampion ke-3 sepanjang sejarah acara Thailand. Hanya melihat keramaiannya saja, sang permaisuri tersenyum lembut. Teringat lima tahun yang lalu ia harus meminta ayahnya untuk menggendongnya agar ia dapat melihat lampion-lampion itu diantara kerumunan orang.

Tok…Tok…

Ketukan pintu dan suara langkah kaki membuyarkan imajinasinya. Setelah mempersilakan si pengetuk pintu masuk, muncullah panglima di hadapannya sambil membungkuk. Sang Ratu yang masih belum menata hatinya kaget dan melangkah mundur tanpa sadar.

“A… Ada apa?” kata sang ratu mencoba mengembalikan wibawanya.

“Saya mendapatkan titipan surat dari Yang Mulia,” katanya sambil tersenyum.

Senyuman bahagia segera terpancar di wajah sang Ratu, ia segera berlari menuju panglima dan mengambil surat yang ia bawakan di atas sebuah nampan perak.

Permaisuriku,

Sang ratu mulai membaca kata demi kata yang telah ditunggunya dari sang raja.

Maafkan aku karena aku belum bisa pulang sampai hari kau membaca surat ini… aku tidak tahu kapan surat ini akan sampai di tanganmu, tapi apakah kau sudah melihat festival lampion dari balkon kamarmu? Aku sengaja merencanakan festival itu seminggu setelah hari ulang tahunku, agar aku bisa melihatnya denganmu seperti pada malam Loy Krathong. Sayangnya aku tidak bisa berdiri di sisimu malam itu. Bisakah kau melihatnya dan menceritakan kesanmu ketika aku pulang nanti? Agar kenanganmu bisa menjadi hadiah ulang tahunku yang terindah…

Hanya secarik kertas berisikan beberapa baris kata-kata dari sang raja telah membuat sang ratu bersemangat kembali.

Aku pasti akan melihatnya dari balkon kamarku malam ini dan menceritakan semuanya padamu, sayangku…

Panglima tersenyum melihat wajah sang ratu yang kembali segar, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin ia senang melihat wanita yang tadi malam menangis di depannya kini sudah kembali ceria… Apakah itu hanya rasa khawatir, ataukah rasa hormat pada si ratu… atau mungkin sesuatu yang lebih dari itu?

Sementara melipat kembali surat itu, sang ratu tersenyum sambil berkata, “Panglimaku yang setia, maukah kau menemaniku melihat festival lampion malam ini?”. Sang panglima terkesiap dan segera berusaha menjawab, tapi tak satu pun hal yang ingin dikatakannya keluar dari bibirnya.

“Biar kuanggap itu sebagai jawaban ’Ya’” kata ratu sambil mendekati panglima. “Menyedihkan bukan kalau hanya berdiri sendiri di balkon yang besar itu..?” ujarnya.

“Ta… Tapi saya tidak pantas, Yang Mulia…” jawabnya terbata-bata.

Sang ratu menatap panglima dengan pandangan tidak puas. “Bagiku, kepantasan itu sesuatu yang sangat subjektif”. Ia baru saja akan melanjutkannya dengan perkataan raja, bagiku tidak ada orang yang lebih pantas untuk mendampingiku selain dirimu. Tapi dirinya dipaksa ingat, bahwa baginya memang ada yang lebih pantas daripada panglima, yaitu Sang Raja sendiri.

“Maaf, aku ingin sendiri sekarang, jangan lupa janjimu,” kata sang ratu. Panglima pun berlalu dalam kebingungan akan dirinya sendiri. Sedangkan sang ratu memegang pipinya yang mulai memanas karena malu. Ia mulai membuka kembali surat dari belahan hatinya yang berada di negara sebelah dan mencoba mengembalikan pikirannya yang kacau.


Matahari berlalu begitu saja digantikan sinar bulan yang menyapa bintang. Pukul delapan tepat festival di mulai. Sang Ratu segera berjalan menuju balkon, menumpangi tangannya di atas susuran pagar balkon dan menikmati indahnya cahaya lampion berwarna-warni dengan berbagai bentuk.

Hari itu tepat satu minggu setelah ulang tahun sang raja. Melihat pemandangan Thailand yang begitu indahnya, sang permaisuri teringat akan pemandangan Loy Krathong yang di hadiahkan oleh sang raja. Saat itu juga tepat satu minggu setelah ulang tahunnya, juga 2 minggu setelah pernikahannya.

Ia merenung untuk beberapa saat. Mengapa hanya dalam waktu satu bulan pernikahan, kau harus meninggalkanku sendirian? Bahkan ini sudah dua bulan sejak kepergianmu..

Tiba-tiba sang panglima datang untuk memenuhi janjinya dengan sang ratu. Ratu segera menghilangkan lamunannya dan menyambut panglima dengan senang.

“Terima kasih kau telah memenuhi janjimu, panglima…”

“Apapun yang anda inginkan, Yang Mulia.”

Ratu tersenyum. Ia kembali memandangi keramaian Thailand dari atas balkonnya bersama panglima di belakangnya.


Siang itu ia sedang makan dibangkunya. Ia hanyalah seorang gadis biasa, tidak istimewa, bangsawan pun tidak. Tapi bel di siang hari itu mengubah segala tentang dirinya. Saat sang raja datang berkunjung dan meminangnya dengan cincin kuning kemilau dan gading gajah sebagai mas kawinnya, ia pun berubah menjadi seorang ratu.

Tidak ada orang yang lebih kaget dari dirinya sendiri, ia hanya dapat bertanya pada sang raja untuk pertama kalinya.

“Rajaku, kenapa engkau meminangku? Banyak gadis lain di seluruh penjuru negara seribu pagoda ini, kenapa harus saya?” pertanyaannya bukan disebabkan karena ia merasa tidak suka, hanya perasaan bingung yang ada dalam hatinya. Hanya sekali ia bertemu dengan sang raja sebelum ia meminangnya.

“Tentu aku memilih kau... Karena kau adalah wanita yang sangat menarik…” jawab sang raja yakin.

Jawaban itu cukup memuaskan bagi orang tua perempuan itu, namun tidak baginya.


“Panglimaku,” sang ratu mulai berkata sambil tetap menatap pemandangan eksotis dari balkon tempatnya berdiri. “Jika saja kau adalah sang raja…” Belum selesai perkataan sang ratu, panglima sudah terlihat kaget.

Melihat reaksi panglima, ratu berhenti sejenak, lalu mulai melanjutkan lagi, “Ini hanya jika… Jika kau adalah sang raja dan aku adalah ratumu, apa jawaban yang akan kau berikan padaku jika aku bertanya ‘Mengapa kau memilihku sebagai permaisurimu?’.. Jawablah, aku tidak akan mempermasalahkan jawaban apapun yang kau berikan padaku.”

Sang panglima melangkah maju.

“Apakah Yang Mulia sungguh ingin mendengar jawaban saya?” katanya. “Mungkin jawaban saya tidak akan sama dengan opini dari sang raja sendiri.”

“Ya, saya ingin mendengar jawabanmu. Mengapa kau memilihku sebagai permaisurimu?”

Tidak sampai dua detik, sang ratu mendapatkan jawabannya dari panglima. “Karena saya mencintai anda…”

Sang ratu terkesiap. Mungkin jawaban itulah yang sejak lama ia tunggu dari sang raja. Bukannya ia meragukan cinta sang raja kepadanya. Ia tahu dan yakin bahwa sang raja mencintainya dengan setulus hatinya. Namun ada perasaan mengganjal yang selama ini terus menjadi pertanyaan dalam hatinya. Mengapa engkau memilihku menjadi permaisuriku? Karena aku mencintaimu…

“Maaf,” kata panglima memecah keheningan yang terjadi di antara keduanya. “Saya hanya menjawab pertanyaan Yang Mulia berdasarkan opini saya.”

“Tidak, memang saya yang menghendaki demikian.” jawab sang ratu berwibawa. “Majulah beberapa langkah lagi dan lihat pemandangan indah itu dari sini.. Sungguh sayang jika kau hanya melihat ujung lampionnya saja, bukan?” ia tersenyum.

Panglima maju sekitar dua meter dan menemani sang ratu melihat pemandangan itu disampingnya, di bawah langit yang sama, di tempat yang sama, dengan pemandangan yang ia lihat bersama kekasihnya.

Catatan Pengarang : Hyahyahyahyahya…. (?) maaf akan kekonyolan yang terjadi antara si ratu dan si panglima.. sbenernya ini harusnya scene romantis tp entah kenapa gw tdk bisa menggambarkannya dgn baik.. LOL…Maaf klo masalah tempatnya agak tidak benar, gw juga ga tau ya Sungai Chao Praya itu di bagian mananya Thailand… xDDDD Untuk mengetahui lebih dalam mengenai festival Loy Krathong dan Lantern Festival, silahkan lihat INI dan INI..

Chapter 4 akan dilanjutkan oleh vale.. xDD Terima kasih sdh membaca~

Love, Pride, and Scandal by vavachala

--To be continued--

2 comments:

  1. chaa..sebenarnya gw dan vanya dari awal sengaja tidak terang-terangan menulis thailand..tapi...ya sudahlah XDDD

    ReplyDelete
  2. HEH? apa? =A=
    kok ga bilang2? =A=
    =3= aku kan ga tauuuuuu
    emg kenapa tdk terang2an nulis thailand? >_<
    bahkan judul blog ini sj thailanqueendom? LOL

    ReplyDelete